ASAP JADI CINTA
Malam semakin larut, tapi mata ini
perih tak ada rasa kantuk. Aku terkesiap melihat teman-temanku yang sudah
sangat pulas tertidur. Kulirik jam tangan pemberian mamaku, ternyata sudah
pukul 23.30 WIB. Biasanya aku bukan orang yang suka melakukan ritual begadang
di malam minggu. Mungkin karena sudah banyak sekali masalah yang mengganggu
pikiranku, terutama masalah kesehatan pernapasan karena efek buruk dari kabut
asap tebal yang menyelimuti Kalimantan. Pedih hati ini membayangkan ribuan
orang yang terkena ispa setiap
tahunnya. Namun pemerintah setempat yang juga merasakan dampak
buruknya malah terkesan berdiam diri. Setiap hari kabut asap semakin memburuk
dan sangat meresahkan hati semua orang.
Namaku Monika mahasiswi baru di Universitas
negeri Kalimantan. Asalku
dari Sumatera Utara. Ini kali pertama aku jauh dari orangtua. Kesepian, itu hal
pertama yang aku rasakan, begitu banyak hal yang harus kupelajari, mulai dari
belajar hidup mandiri, belajar untuk beradaptasi dengan teman baru, dan yang
terutama belajar bernafas di antara kepulan asap yang menusuk sampai ke rongga
paru-paruku. Mengurus diri sendiri adalah hal yang harus kulakukan. Aku harus
membiasakan diri memakai masker untuk mengindari kotornya udara yang penuh
dengan asap. Dadaku kini terasa sesak, tidak mudah bagiku bernafas dengan
menggunakan masker yang setiap hari menempel di mulut dan hidungku. Namun itu
semua harus kulakukan agar aku mampu bertahan di perantauan ini.
Hari-hari yang kulalui sangat
membosankan, melelahkan, sekaligus menyedihkan. Sudah seminggu aku menjalani
masa orientasi yang merupakan pengenalan kehidupan kampus. Setiap hari aku harus
berjalan kaki ke kampus pada pukul 05.00 WIB saat orientasi ini, dan seharian
penuh aku menghabiskan waktuku di kampus mengikuti berbagai kegiatan yang
dibuat oleh panitia. Aktivitas ini
sangat menguras tenagaku, ditambah lagi keadaan yang buruk membuatku terkadang
lunglai seakan mau pingsan.
“Trengh…trengh…trengh…” Bunyi jam weker
membangunkan pagi ini. Perlahan ku kucek mataku dan seraya mencoba untuk
membukanya, ternyata sudah pukul 04.00 pagi segera aku bangkit dari tempat
tidur untuk mandi. Kulihat temanku yang masih tertidur pulas karena mereka
tidak mengikuti orientasi hari ini. Begitu selesai mandi aku pun memakai
perlengkapan orientasi dan bersiap berangkat ke kampus.
“Dert…dert…dert…” Bunyi Hp Nokiaku,
aku pun segera membuka pesan yang masuk, ternyata Nowa teman sekelompokku.
1 message received
“Mon kamu udah siapkan?
Aku tunggu kamu di depan rumahku
ya.”
Setelah melihat isi pesan dari Nowa
aku segera berangkat menuju rumah Nowa, namun karena terburu-buru aku lupa
memakai masker yang kuletakkan di atas meja belajarku. Sudah terlanjur jauh, aku pun berniat untuk
tidak memakai masker hari ini dan melanjutkan perjalanan menuju kampus bersama
Nowa.
Pada pukul 12.00 WIB. Matahari
bersinar sangat terik, sebagian kegiatan orientasi berjalan dengan lancar.
Namun saat melanjutkan kegiatan aku mulai lemas, tanganku mulai bergetar, mungkin karena panas
matahari yang membakarku setengah hari ini, ditambah lagi aku tidak mengenakan
masker membuatku menjadi lemah. Aku berusaha untuk bertahan mengikuti kegiatan
orientasi sekuat tenagaku, tapi semua tak seperti yang kupikirkan, aku mulai
merasa sangat lemah untuk berdiri. Perlahan aku mulai tumbang dan seakan jatuh
pingsan. Namun belum sempat aku terjatuh seorang pemuda langsung menopangku
dari belakang. Aku terkujur di pangkuannya dan membawaku ke tempat teduh.
Pemuda itu memberi air minum ke mulutku sampai aku mulai siuman.
“Hai… kamu udah sadar?” Tanya
pemuda itu lembut.
“Aku kenapa?” Aku balik bertanya
sambil berusaha untuk bangkit duduk.
“Kamu tadi pingsan.” Katanya sambil
membantuku untuk duduk.
“Terima kasih ya sudah membantuku.”
Ucapku padanya.
“Sama-sama. Oh
iya nama kamu siapa?” Tanyanya padaku.
“Monika.” Jawabku singkat.
“Kenalin namaku Nathan.” Tungkasnya
sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Aku pun menyambut salamannya walau
sedikit canggung. “Oh
iya ini aku punya masker satu lagi, mungkin kamu perlu memakainya agar kamu
tidak pingsan lagi.” Katanya menyodorkan selembar masker sambil tersenyum.
“Makasih ya…” Jawabku seraya
menerima masker darinya. Aku mencoba memakai masker pemberiannya, tapi sedikit
berbeda dengan masker yang biasa aku pakai talinya cuma satu pasang, namun yang ini ada dua
pasang, membuatku kesulitan untuk memakainya.
“Sini aku bantu memakainya.” Ucapnya
padaku. Aku hanya menurut saja sambil memberikan masker padanya. Dia memakaikan
masker padaku dan mengikat tali masker dengan lembut.
“Terima kasih ya.” Jawabku dari
dalam masker yang dipasangkannya.
“Sama-sama, kalau begitu aku lanjut
kegiatannya ya. Kamu istirahat aja dulu.” Katanya padaku sambil bangkit berdiri
untuk bergabung dengan kelompok untuk melanjutkan kegiatan orientasi.
Hari
sudah petang. Akhirnya aktivitas orientasi hari ini
telah selesai. Aku bersiap untuk pulang bersama dengan Nowa dan teman-temannya.
Kami berjalan bersama-sama keluar dari kampus. Tiba-tiba sebuah sepeda motor menghampiriku. Setelah aku melihat
wajahnya baru aku sadar kalau itu adalah Nathan orang yang tadi siang
menolongku saat pingsan.
“Hai…” Ucapnya padaku. Aku hanya
tersenyum menanggapi ucapannya. “kamu jalan kaki setiap hari ya?” Tanya Nathan
padaku.
“Iya begitulah.” Jawabku.
“Besok kan hari terakhir orientasi, dan
harus cepat sampai, bagaimana kalau besok kita barengan?” Kata Nathan
menawarkan bantuan.
“Tidak usah. Aku biasa datang dengan
cepat kok.” Jawabku.
“Kamu yakin? Nanti kamu telat dan
lupa membawa masker bisa pingsan lagi loh…” Ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya
menunduk diam tidak menyahut ucapannya. Aku berpikir betul juga kata-katanya,
hari-hari sebelumnya aja aku harus berlari-lari ke kampus supaya tidak telat.
Padahal aku udah bangun cepat. Apalagi besok,
apa harus bangun pukul 03.00 dan
berlari-lari agar tidak terlambat pikirku. “Bagaimana? Kalau kamu mau supaya
aku jemput besok dengan senang hati.” Kata Nathan memastikanku.
“Iya deh, makasih ya.” Jawabku
menerima tawarannya padaku.
“Oke deh, nih nomor Hp-ku. Besok
pagi kamu sms aku kalau udah siap.” Kata Nathan menyerahkan sepotong kertas
bertulis angka nomor Hp-nya. Aku pun menerima potongan kertas itu dan
menyimpannya di sakuku. “Kalau gitu aku duluan ya…” Ucapnya padaku sambil
mengemudikan sepeda motornya meninggalkanku. Kulihat teman-temanku sudah jauh
di depan, aku pun mempercepat langkahku untuk menghampiri mereka.
“Kalian bicara apa tadi?” Tanya Nowa
padaku.
“Besok dia menawarkanku bantuan
untuk menjemputku ke rumah.” Ucapku sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Owh…bagus dong. Jadi kamu mau?”
Katanya lagi. Aku menundukan kepalaku dengan sedikit malu. “ Jadi kamu tidak
perlu berlari-lari sendirian menuju rumahku, kalau aku kan dekat dari kampus.”
Ucapnya padaku. “Lagian dia cowok yang keren kok, jangan-jangan nanti kamu
jatuh cinta padanya.” Kata Nowa lagi sambil tersenyum.
“Ahh… kamu ini bilang apa sih.”
Jawabku sambil mencubit tangannya. Dia hanya tertawa membuat pipiku jadi merah
merona. Sepanjang jalan dia becanda padaku, membuatku tertawa seketika itu juga
rasa lelah di tubuh menjadi hilang dan jauhnya perjalanan jadi tidak terasa.
Sesampainya di rumah kurebahkan
tubuhku di tempat tidur. Kutatap langit-langit kamar, pikiranku kosong.
Perlahan aku mulai terbang dalam lamunanku. Entah apa yang kupikirkan.
“Hei… kenapa bengong, kamu udah lama
nyampeknya?” Kata Haztry teman serumahku, membuyarkan lamunanku.
“Heh… iya, baru aja.” Jawabku
sedikit terkejut. “Esra di mana?” Tanyaku.
“Itu ada di depan lagi main laptop.”
Jawab Haztry padaku.
“Bagaimana kegiatan mu hari ini?”
Tanyanya padaku.
“Tadi
siang aku
lupa bawa masker. Aku jadi pingsan tadi. Mungkin karena aku terlalu banyak
menghirup udara kotor.” Jawabku.
“Terus?” Tanya Haztry makin
penasaran.
“Untung ada orang yang menahanku
dari belakang, kalau enggak aku bakalan jatuh terhempas ke tanah.”
“Siapa orang itu?” Tanya Haztry.
“Dia teman satu kelompokku, tadi dia
memberikanku
masker. Besok dia menjemputku ke rumah. Awalnya sih aku gak mau, tapi dari pada
aku kena hukum kalau terlambat aku terima ajakannya.”
Jelasku padanya.
“Wah… bagus dong.” Jawab Esra dari
ruang depan. Ternyata dia mendengarkan kami cerita.
“Ahh… biasa aja. Aku mandi dulu.”
Jawabku sambil bangkit berdiri beranjak menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi dan makan
malam aku pun langsung beristirahat karena merasa lelah. Besok aku harus
berangkat cepat dan masih banyak kegiatan yang menantiku sehari penuh. Hanya
sekejab saja aku udah masuk dalam dunia mimpi dan tertidur pulas.
“Trengh… trengh…” Bunyi jam weker
yang kembali membangunkanku, menyadarkanku dari dunia mimpi. Aku pun beranjak
untuk apel pagi. Setelah apel pagi aku langsung mengambil kertas dari celanaku.
Kertas nomor Hp yang diberikan Nathan padaku. Dengan perlahan kutekan tombol
Hp-ku sesuai dengan angka yang ada di kertas itu dam mengirim SMS padanya.
“Pagi, aku tunggu di rumah ya,
jangan lama.
#Monika”
Segera kukirim ke nomor Nathan.
Status report delivered
Akhirnya pesan yang kukirim sampai
juga dan selang beberapa menit Hp-ku berdering.
1 message received
“Oke tunggu ya, aku segera sampai.”
Aku
segera bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Kuperiksa segala keperluanku agar jangan sampai
ketinggalan seperti semalam.
Akhirnya
ada cahaya lampu motor ke rumah. “Monika… Aku udah sampai.” Kata Nathan. Aku pun
segera keluar dari rumah. “Ayok… nanti kita telat.” Lanjutnya mengajakku naik
sepeda motornya.
Sesampainya
di kampus kami melakukan kegiatan orientasi yang terakhir bersama-sama. Nathan
mengingatkanku untuk selalu memakai masker karena keadaan udara yang sangat
kotor. Dia juga mengatakan kalau aku harus selalu tersenyum dalam mengatasi masalah agar semua
terasa ringan.
Kegiatan
orientasi ini membuat kami semakin akrab. Aku merasa menemukan teman baru yang cukup
peduli dengan keadaanku. Meskipun ini
menjadi hari terakhir kami mengikuti kegiatan orientasi dan masing-masing akan
terpisah, karena
aku dan Nathan berbeda jurusan, tapi kami tetap ada
komunikasi. Nathan tetap mingingatkanku untuk selalu tersenyum walau aku tak
menginginkannya.
Hari
demi hari berganti, kegiatan kampus mulai aktif. Aku pun semakin banyak bertemu
dengan wajah baru. Mereka sudah kuanggap sahabatku sekaligus teman seperjuangan
terbaik yang aku temukan. Kami selalu bersemangat melakukan semua kegiatan
walaupun kondisi cuaca yang semakin ekstrem tiap harinya. Sudah hampir sebulan asap tak
kunjung juga hilang, malah semakin hari keadaan bertambah parah. Tapi kami
tidak pernah mengeluh. Kami belajar hidup di antara kepulan asap demi sebuah
cita-cita.
Waktu terus berputar, namun keadaan
belum juga kondusif. Akhirnya kampus mengeluarkan surat edaran untuk melakukan
aksi demo mahasiswa melawan asap dikantor gubernur. Hal ini dilakukan karena
tidak adanya penanggulangan yang efektif dilakukan pemerintah dalam mengatasi
bencana kabut asap yang menyelimuti Kalimantan. Ini terbukti dari semakin
luasnya kebakaran lahan yang terjadi.
Kesempatan
ini tidak dilewatkan oleh para mahasiswa Senior dari organisasi Mahasiswa
Pecinta Alam. Mereka menyatakan bahwa kabut asap Kalimantan merupakan skenario
pemerintah untuk mengkorupsikan uang rakyat.
“Kita
mahasiswa harus mengambil peran serta untuk melawan asap Kalimantan. Kita semua
tau bahwa pejabat tidak terlalu memberikan perhatian pada bencana ini. Mereka
hanya memikirkan diri mereka sendiri. Sebagai mahasiswa kita harus bertindak.”
Ujar ketua organisasi Mahasiswa Pecinta Alam.
Setelah
selesai pengarahan semua mahasiswa bersiap untuk melakukan kegiatan demo di
depan kantor gubernur. Aku pun turut serta dalam kegiatan ini. Dengan semangat
aku turun ke jalan demi memperjuangkan lingkungan hidup sehat di Kalimantan
ini.
“Monika
kamu masih sanggup?” Tanya seorang pemuda diantara suara yang bising. Segera
kuamati wajahnya yang tertutup masker,
dan ternyata Nathan.
“Hai…
sepertinya masih.” Jawabku dengan santai.
“Ini
air minum, kelihatannya kamu haus.” Kata Nathan sambil menyodorkan botol air
minum padaku.
“Terima
kasih ya.” Balasku sambil menerima botol air minum pemberiannya.
Kami
melakukan kegiatan demo sama-sama. Ntah kenapa aku merasa ada yang berbeda pada
Nathan. kuamati dirinya dengan seksama, Nathan cowok berperawakan tinggi,
matanya sipit, kulitnya putih, kalau dipikir-pikir dia mirip dengan orang korea.
Namun yang paling membuatku suka adalah sifatnya baik, perhatian, sopan, dan
ramah. Aku tak tau kenapa aku mulai begitu memperhatikannya, apa jangan-jangan
aku mulai jatuh cinta. Aduh kenapa bisa begini ya, kenapa aku mulai jatuh hati
padanya.
“Hei
kenapa melihatku begitu?” Tanya Nathan padaku, membuatku tertunduk malu karena
dia tau kalau dari tadi aku mengamatinya.
“Tidak
apa-apa, aku cuma melihat keringatmu.” Kataku sambil mengambil sapu tangan dari
sakuku dan kuusapkan di keningnya.
“Makasih
ya Mon, kamu baik banget.” Kata Nathan padaku. “Sini gantian aku yang usap
keringat di keningmu.” Katanya lagi sambil mengambil sapu tangan dari tanganku
dan mengusap keningku sambil tersenyum.
Membuat relung hatiku bergetar.
Tidak
terasa kegiatan demo sudah selesai. Semua mahasiswa boleh pulang ke rumah
masing-masing. Dan aku pulang bersama dengan Nathan. Sepanjang perjalanan aku
hanya diam tidak berkata apa-apa. Ntah kenapa tidak ada hal yang mendukung untuk di ucapkan. Nathan juga
masih fokus mengemudikan motornya.
“Mon..
besok kan libur, kamu sibuk nggak?” Tanya Nathan.
“Enggak,
mungkin aku hanya bermalas-malasan di tempat tidur seharian penuh.” Jawabku.
“Kamu
mau nggak aku ajak jalan-jalan?” Tanyanya lagi.
“jalan-jalan
kemana?” Aku balik bertanya padanya.
“Ke
taman kota, mau ya…” Ajak Nathan lagi.
“Gimana ya, aku mau tapi pulangnya
jangan lama ya.” Jawabku menyetujui.
“Iya,
besok aku jemput kamu ya.” Katanya
dengan senang.
Sesampainya
di rumah rumah, Nathan pun pulang kerumahnya setelah pamit. Aku segera masuk
kedalam rumah menunggu teman-temanku. Kulepaskan masker yang menempel di depan
mulut dan hidungku sepanjang hari ini.
“Mon…
buka pintunya dong, udah sesak nih.” Kata Hazty dan Esra dari balik pintu
rumah.
“Iya
bentar.” Jawabku sambil berjalan menuju pintu depan.
“Eh..
tadi kami lihat kamu jalan bareng cowok kemaren, jangan-jangan benar
kata-kataku kemarin.” Kata Haztry sambil tersenyum masuk ke dalam rumah.
“Ahh…
kamu ini. Dia cuma ngantar aja kok.” Jawabku malu-malu.
“kamu
suka sama dia ya? Tanya Ezra penasaran.
Aku hanya menunduk.
“Cie…
jatuh cinta ni ye…” Kata mereka serempak.
“Besok
dia mengajakku jalan-jalan, katanya ke taman kota.” Kataku terbuka.
“Wah…
beruntung kamu Mon bisa refreshing
menghindari asap-asap yang bertebaran ini .”
Kata Ezra.
“Ya
begitulah, aku tidur dulu ya. Rasanya capek karena seharian demo tadi.” Balasku
sambil berbaring di tempat tidur.
Waktu
yang dinanti tiba. Fajar telah terbit di ufuk timur. Aku telah selesai
bersiap-siap sehingga tampak segar walaupun sederhana.
“Tin…
tin..” Bunyi klakson motor Nathan, pertanda dia telah sampai. Segera kubuka
pintu rumah menyambutnya dengan senyum.
“Sudah
siap?” Tanya Nathan
“Sudah,
ayok..” Jawabku sambil berjalan ke arahnya.
“Maskermu
mana?” Tanya Nathan lagi.
“Ini
dalam tas.” Jawabku datar.
“Ohh..
yaudah kamu pakai aja, jangan disimpan.” Katanya padaku. Kukenakan maskerku dan
duduk di boncengannya.
Hanya
sekitar 30 menit kami telah sampai di taman kota. Nathan memarkirkan motornya
lalu kami mulai berjalan berkeliling di sekitar
taman yang penuh dengan bunga dan pohon yang rindang, membuat tempat ini terasa sejuk walau masih
ada kabut asap yang menyelimuti.
Nathan
mulai bicara dan membuatku tertawa terbahak-bahak dengan candanya. Dia
benar-benar memiliki sifat humoris. Rasanya menyenangkan sekali. Setelah lelah
keliling-keliling kami duduk bersebelahan di bawah pohon rindang untuk istirahat.
“Mon..”
Kata Nathan padaku.
“Iya,
kenapa?” Tanyaku padanya.
“Kalau
aku ngomong sesuatu kamu marah nggak?” Tanyanya padaku lagi.
“Ngomong
apa maksudmu?” aku balik bertanya karena bingung.
“Sebenarnya
saat masa orientasi kemarin waktu kamu pingsan, dari situlah aku mulai
mengenalmu pertama kalinya. Aku… mau bilang.. sebenarnya aku mulai saat itu setiap hari tak pernah berhenti memikirkanmu dan aku mulai
menyukaimu Mon. Aku tak tau
mengatakannya, aku takut kalau rasa ini justru membuatmu marah, dan aku mencoba
menyembunyikannya tapi justru membuatku tersiksa. Hatiku terus menyuruhku untuk
bicara mengungkapkan semuanya ” Katanya dengan sangat
gugup. Aku terdiam, jantungku berdegup kencang mendengarnya. Mulutku kaku tak mampu untuk bicara. “Mon..
kamu mau nggak jadi pacarku?” Kata Nathan lagi sambil menyentuh tanganku,
membuat aliran darahku semakin deras mengalir. “Mon.. jawab dong” Pintanya.
“A..
aku… aku mau jadi pacarmu.” Kataku dengan suara kecil.
“Sungguh...? Monika... makasih
ya Mon.” Jawabnya. Dengan refleks dia memelukku mungkin karena sangkin
senangnya.
“I..
iya… lepasin dong, aku bisa mati
menahan nafaas dari tadi. Aku butuh air minum, detak jantungku belum
tenang.” Jawabku sambil melepaskan pelukannya.
“Iya..
iya.. maaf ya…” katanya padaku.
Hari
ini menjadi hari yang spesial bagi kami. Aku tak pernah menyadari pingsannya
aku karena asap, menjadi awal yang membuatku jatuh cinta. Bencana ini memberi
ingatan tersendiri buatku.
Begitulah
kisah ini bermula, cinta yang mengajarkanku untuk memahami bahwa bencana kabut
asap yang terjadi akibat kecerobohan dan ketidakpedulian pada lingkungan
sehingga bencana semakin parah terjadi. Ini karena ketiadaan rasa cinta pada
lingkungan. Namun saat kita mulai sadar
akan pentingnya lingkungan hidup yang nyaman dan bersih saat itu juga kita
belajar untuk memperbaiki lingkungan hidup.
Sebagai kaula muda bangsa yang merupakan penerus bangsa kita harus memulai
semua dari sekarang, ikut berperan dalam pembangunan. Bersih lingkunganku, nyaman cintaku
#TAMAT#