Hubungan internasional mengalami dinamika dan
perkembangan di dalamnya seiring dengan berjalannya waktu. Berbagai isu telah
berkembang dalam dunia internasional dan memunculkan berbagai perspektif baru dalam
hubungan internasional. Salah satu di antaranya adalah munculnya Green
Perspective atau perpektif hijau. Perspektif ini lahir dengan misi ntuk
mengangkat isu lingkunagan ke dalam isu internasional. Hal itu dikarenakan isu
lingkungan sempat diabaikan dan tidak terlalu diperhatikan dalam dunia
internasional. Isu lingkungan bukan hanya menjadi isu nasional saja melainkan
juga sebagai isu inernasional yang penting dalam hubungan internasional
sekarang (Jackson & Sorensen, 2009). Dengan pernyataan tersebut, kini
isu lingkungan menjadi isu internasional yang diangkat dalam hubungan
internasional.
Perspektif hijau merupakan perpektif baru
yang muncul pada tahun 1960-an. Kemudian perspektif ini mulai mengkritik
liberalisasi beserta adanya isu perang pada saat itu. Perang pada saat itu
telah membawa dampak yang buruk terhadap kerusakan lingkungan (Jackson &
Sorensen, 2009). Meskipun perspektif hijau tergolong baru kemunculannya yaitu
pada saat perang dingin, namun perspektif ini juga terkait pula dengan perang
dunia sebelumnya yang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.
Berawal dari situ, terdapat pemikiran dan kesadaran manusia atas kelestarian
lingkungan hidup. Dampak akibat kerusakan lingkungan tidak dapat dirasakan
secara langsung namun akan sangat terasa pada tahun-tahun berikutnya. Hal
itulah yang menjadi konsentrasi dari gagasan perspektif hijau, karena
lingkungan akan semakin parah jika tidak segera ditangani.
Berdasarkan dari pemikiran tersebut, perspektif
hijau memiliki tujuan untuk menangani isu lingkungan global dalam hubungan
internasional. Salah satu hal yang menjadi konsentrasi isu lingkungan adalah
kerusakan ekologi pada negara-negara berkembang. Negara berkembag memiliki
banyak dampak eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh negara maju.
Oleh karena hal itu, negara berkembang seharusnya mendapat perlindngan dari
eksploitasi sumber daya alam yang berlangsung melampaui batas. Selain itu pula,
negara-negara maju diharapkan memiliki kesadaran agar tanggap terhadap isu lingkungan
yang ada. Adanya kesadaran itu akan membuat setiap negara akan memiliki rasa
tanggung jawab yang sama atas lingkungan yang ada (Eckersley, 2007).
Perspektif hijau memiliki beberapa asumsi dasar
dalam pendiriannya. Asumsi dasar yang pertama adalah penolakan terhadap manusia
sebaga pusat segalanya dan menganggap bahwa seluruh kebaikan alam hanya untuk
manusia (Matthew, 2001). Dalam pandangan tersebut, manusia dilihat sebagai
subjek lingkungan. Namun kenyataannya banyak manusia yang menjadi serakah terhadap
alam karena menganggap semua yang ada di alam adalah tercipta untuk kebutuhan
manusia serta pemanfaatan kebaikan alam juga bergantung pada keinginan manusia
(Steans et. al., 2005). Selain dari itu, pertumbuhan penduduk berdampak
buruk terhadap lingkungan.Dampak yang dapat ditimbulkan adalah kerusakan
lingkungan dalam kurun waktu tertentu. Pertumbuhan penduduk memang menjadi
konsentrasi pada kerusakan lingkungan. Hal itu dikarenakan semakin banyak
penduduk maka semakin banyak sumber daya alam yang dibutuhkan untuk mencukupi
kebutuhan hidup setiap penduduk. Dengan demikian, dikhawatirkan akan
terjadi eksploitasi alam secara besar-besaran. Belum lagi fakta jika penduduk
semakin banyak maka akan semakin banyak lahan yang dibutuhkan untuk rumah tinggal
yang berakibat pada terganggunya ekoseistem yang ada. Asumsi selanjutnya adalah
tentang konsep desentralisasi. Maksud dari konsep tersebut adalah penolakan
terhadap bentuk pemusatan karena perspektif hijau lebih setuju dengan komunitas
yang lebih kecil daripada negara. Sehingga, diharapakan akan dapat memberikan
perlindungan terhadap lingkungan dengan lebih optimal (Matthew, 2001).
Namun, terdapat pula beberapa penolakan terhadap
asumsi atau argumen yang disampaikan perspektif hijau. Konsep desentralisasi mendapat
perhatian karena komunitas yang lebih kecil dibanding negara akan memiliki
kepentingan tersendiri dalam hubungan antarkomunitas. Kemudian, isu selanjutnya
yaitu berupa pendapat bahwa isu lingkungan merupakan isu global dan bukan hanya
isu kelompok. Sehingga, penyelesaian isu lingkungan harus diatasi oleh satu
kelompok global. Hal lain yang menjadi kritik adalah kedaulatan negara yang
mana di dalamnya terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil (Matthew, 2001).
Dengan demikian yang dapat disimpulkan adalah
perspektif hijau merupakan perspektif yang lahir karena isu lingkungan. Isu
lingkungan yang dulu sempat diabaikan kini menjadi konsentrasi baru dalam
menjalankan setiap perilaku dalam hubungan internasional. Hal tersebut tumbuh
dari kesadaran bahwa alam akan semakin rusak jika manusia semakin serakah dan
tidak peduli dengan nasib lingkungan. Perspektif hijau dengan isu lingkungannya
menjadi hal yang relevan dalam hubungan dunia internasional saat ini yang mana
isu linkungan bukan hanya merupakan isu nasional namun sudah menjadi isu
internasional.